Headlines News :
Home » » POTRET KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DI PAPUA BARAT

POTRET KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DI PAPUA BARAT

Written By Unknown on Senin, 30 Juni 2014 | 06.49

Dari Perspektif Hak Asasi Manusia
Oleh : Dominggas Nari

1. Latar Belakang
Kekerasan terhadap perempuan adalah suatu gejala universal. Hampir semua masyarakat di dunia pada setiap tahapan sejarahnya membawa serta dirinya dalam berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan. Keuniversalan gejala kekerasan terhadap perempuan  sama sekali tidak berarti bahwa ia adalah sesuatu yang lumrah yang tidak perlu dirisaukan atau dipersoalkan dan karena itu sebaiknya diterima begitu saja, tidak, tidak sama sekali. Seperti ditegaskan oleh Sekjen PBB di depan konperensi Perempuan sedunia ke 4 di Beijing Tahun 1985, bahwa justru karena sifat keuniversalan praktek kekerasan terhadap perempuan inilah maka ia harus dikutuk secara universal pula. Keuniversalan dari gejala  kekerasan terhadap perempuan ini menyentak kesadaran kita bahwa mungkin sekali ada sesuatu “keadaan” yang merupakan produk dari suatu tatanan kehidupan kemasyarakatan yang serupa tapi tidak sama sekali diantara masyarakat-masyarakat di dunia (Tomagola Tamrin). 
 
Foto Ilustrasi : Kekerasan Terhadap Perempuan/Dok:Google
Kekerasan terhadap perempuan di Papua sudah lama terjadi namun sebagaian besar masyarakat belum memahamimya sebagai bentuk dari pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Dan ketika masalah kekerasan ini mulai ramai dibicarakan orang baik ditingkat nasional, regional maupun internasional maka masalah  kekerasan terhadap perempuan harus dihapuskan. Dan hal ini sangat bertentangan dengan tekad Deklarasi tantang penghapusan segala bentuk  kekerasan terhadap perempuam.

Bentuk-bentuk kekerasan  terhadap perempuan seperti perkosaan, pembunuhan, penganiayaan oleh pansangan hidup, intimidasi paling sering ditemukan dalam kehidupan masyarakat di Papua. Dan untuk kepentingan diskusi ini saya akan membagi kekerasan terhadap perempuan di Papua dalam dua bagian dengan tema yang terpisah namun keuanya saling melengkapi. Bagian pertama merupakan kekerasan yang dilakukan oleh budaya terhadap perempuan. Sedangkan bagian lainnya adalah kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh negara yang diimplementasikan dalam kebijakan-kebijakan negara.

Dua bentuk kekerasan ini seganja dipilih untuk dibahas karena keduanya merupakan gejala dari kejahatan manusia yang harus dibasmi. Dalam sistem budaya Orang Papua, kaum perempuan mendapat tempat yang cukup baik, seperti pada beberapa suku, mereka gambarkan perempuan dalam beberapa simbol-simbol seperti; simbol kehidupan, Pohon sagu  Namun hal ini bukan berarti sama dalam praktek kehidupan  sehari-hari yang mana perempuan adalah sasaran empuk dari kekerasan.

Selain kekerasan yang dilakukan oleh budaya,maka ada kekerasan  lain lagi yang akan dilihat, yakni kekerasan yang dilakukan oleh negara. Mengapa bentuk kekerasan ini yang dipilih, sebab dimana-mana  bentuk kekerasan yang dibuat negara tidak pernah diselesaikan secara hukum, namun terus berkembang dan semakin merajalella, baik di gunung, pantai dan lembah.
Untuk jelasnya dalam sistematika tulisan ini dibuat demikian; sesudah latarbelakang, bagian kedua akan dideskripsikan peta kekerasan perempuan di papua, kenudian bagian berikut akan menyajikan pembahasan bagaimana budaya memberi landasan pembenaran bagi praktek-praktek kekerasan terhadap perempuan. Dilanjutkan dengan kekerasan yang dilakukan oleh negara melalui kebijakan-kebijakan pembangunan dan ditutup dengan kesimpulan sementara dan rekomendasi dari seluruh tulisan ini.

2. Kekerasan terhadap perempuan dalam Budaya
Suku bangsa Papua yang mendiami propinsipaling timur dari Wilayah Indonesia, mempunyai karakterisktik suku budaya dan suku yang sangat beragam. Menurut laporan Uncen-SIL Papua memiliki lebih kurang 250 bahasa, itu berarti ada sekitar 250 suku bangsa yang hidup diseluruh Papua. Dan karakteristik budaya dan suku ini disebankan juga oleh letak geografis, topografi.

Hampir kurang lebih tiga puluh delapan tahun pembangunan dilakukan di tanah ini, masih ada daerah-daerah yang terpencil dan belum dijangkau pembangunan. Jauh dari pusat-pusat informasi membuat budaya yang dimilikinya mengalami perubahan yang lambat, sehingga perkembangan budaya di papua tidak seragam.

Perkembangan yang lambat ini, sangat mendukung adat-istiadat yang ada untuk tetap mempraktekkan nilai-nilai serta norma-norma yang membatasi kebebasan perempuan terutama terhadap hak asasinya sebagai perempuan.
Beberapa kasus pelanggaran hak asasi perempuan  dalam budaya yang akan di tampilkan disini, tidak mewakili papua secara menyeluruh, karena sebagaimana dijelaskan terlebih dahulu bahwa perkembangan budaya papua sangat beragam, sehingga kasus yang ada di suatu tempat belum tentu sama di tempat lain, namun sasaran kekerasan itu selalu sama pada perempuan.
Bila dilihat dari kacamata budaya, yang kita sebut sebut kekerasan terhadap perempuan belum tentu benar.  Karena nilai-nilai kekerasan itu diimplementasikan dalam berbagai aturan, norma dan pantangan terhadap kondisi dan keberadaan perempuan. Dan kaum perempuan sendiri, sebagai pendukung kebudayaan ini, merasakan bahwa ini adalah hal yang biasa, sudah takdir dan tidak merasa terpaksa melakukan segala aktivitasnya. Namun bila digunakan kacamata Hak asasi manusia, maka akan ditemukan banyak sekali praktek yang mengarah pada pelanggaran hak-hak asasi manusia atau hak-hak asasi perempuan.  Untuk lebih jelasnya akan diuraikan satu persatu dibawah ini.
 
a. Kesehatan Perempuan Terabaikan

Dalam satu survey cepat (rapid ethnographie Assessment) tentang Peranan instutusi lokal dalam peningkatan kesehatan ibu dan anak pada  6 kecamatan Suku Moi di Sorong. Penelitian ini  dilakukan oleh Unicef bekerja sama dengan Bappeda TK I Papua, dikemukakan bahwa, faktor budaya adalah salah satu hambatan dalam meningkatkan kesehatan ibu dan anak. Mengapa demikian? Karena ada sepangkat aturan budaya yang dikenakan pada ibu hamil. Aturan-aturan ini berbentuk mitos dan pantangan terhadap makanan serta minuman dari seorang perempuan yang sedang hamil.

Mitos-mitos dan pantangan bagi ibu hamil itu dikenakan pada beberapa jenis makanan, dan kebiasaan-kebiasaan lain yang membuat perempuan Moi betul-betul terkunkung dalam adat. Diketahui bersama bahwa seorang perempuan hamil, membutuhkan waktu untuk istirahat, makanan yang bergizi dan akses akan informasi yang berhubungan dengan kesehatan ibu dan anak. Dalam survey cepat yang dilakukan tersebut menujukkan bahwa;Hamil bagi orang Moi adalah sesuatu yang biasa, sehingga perempuan hamil tetap  bekerja sebagai mana biasanya,mulai dari menimba air di kali, menokok sagu dan berkebun, mencari ikan di laut dan mencari kayu bakar dihutan, akibatnya rata-rata ibu hamil  perempouan Moi menderita anemia, kurang kalori karena hanya memakan 64 % kalori dari seharusnya 84% protein.

Perempuan hamil tidak boleh makan ikan sembilan dan kepiting serta daging babi, alasannya jika makan ikan ini akan mengalami perdarahan, hal ini juga berlaku pada daging babi, karena daging diburu dengan menggunakan magig maka dilarang untuk dimakan, nanti melahirkan akan mengalami kesukaran, akibatnya rata-rata perempuan Moi yang hamil kekurangan gizi, anak yang lahir mengalami kekurangan berat badan sehingga mempunyai harapan hidup yang tipis.  Jika pada saat melahirkan maka sibu hamil mengalami kesulitan ia harus menunggu keputusan dari mertuanya baru boleh dibawa ke dukun atau klinik.Hal ini sering membuat  prose persalinan terlambat ditolong disampaing itu karena mereka tidak mengenal tanda-tanda kelahiran. Seorang perempuan yang telah melahirkan dilarang keluar dari rumah selama empat puluh hari, rata-rata perempuan Moi yang melahirkan mati, akibatnya  infeksi dan perdarahan atau dari 1000 perempuan Moi yang hamil, 8 meninggal karena perdarahan dan infeksi waktu melahirkan (2 kali lipat lebih tinggi dari angka nasional).  Karena ibu hamil sibuk dengan rutinitasnya sepanjang hari, maka jarang memeriksakan kehamilannya ke klinik, akibatnya hanya 1 dari 3 perempuan Moi yang memeriksakan kehamilannya secara lengkap, hanya 1 dari 3 perempuan Moi yang melahirkan pada tenaga bidan dan minum tablet besi (tambah darah), mendapatkan imunisasi tetanus yang lengkap.

Pada suku Moi kebisaan ini merupakan tradisi yang selalu digunakan selama turun temurun, dan perempuan sebagai pendukung kebudayaan Moi sendiri tidak merasa bahwa hal ini adalah praktek-praktek ini merupakan pelanggran terhadap hak-hak asasinya sebagai perempuan. Disamping itu praktek-praktek ini sangat membatasi hakpeempuan hamil untuk memperoleh kesehatan yang layak. 
 
b. Ekonomi

Kekerasan terhadap perempuan dalam bidang ekonomi, terjadi hampir di seluruh Papua. Pertama perempuan adalah tualng punggung keluarga. Ia bekerja di kebun mulai dari menanam sampai panen, menokok sagu mulai dari menebang sampai meisahkan tepung sagu dari serabutnya bahkan membawa pulang  sendiri ke rumah dari dusun yang jaraknya 6 – 7 km dari rumah.

Diasmat misalnya, kaum perempuan membantu suaminya menebang kayu danmenjual pada perusahan kayu, namun ketika pembayaran kayu dilakukan laki-laki yang akan menerima uangnya, perempuan tidak punya hak. Di lembah Baliem, para perempuan akan berjualan di pasar, sementara laki-laki jalan-jalan dan hanya meminta uang untuk beli rokok.

Ada gejala, dimana akibat ekonomi keluarga yang semakin tertekan, anak peempuan dikawinkan dalam usia dibawah umur. Akhir-akhir ini ada gejala mas kawin perempuan papua semakin besar, hal ini disebabkan karena tekanan ekonomi keluarga.

Ada praktek-praktek mengarah ke germo yang dilakukan secara tradisonal, seperti di Lembah Baliem, seorang suami akan merelakan istrinya ketangan lelaki lain dan dibiarkan selama 2 samapi 3 bulan, maka suaminya akan menggugat dan meminta lelaki yang membawa istrinya untuk membayar denda. Dan hal ini bisa dilakukan oleh perempuan yang sama sampai beberapa kali.

Kemudian gejala-gejala lain yang nampak dengan adanya tourim ke Wamena, maka kaum urban perempuan yang ada dipinggiran kota, melakukan praktek-praktek prostitusi yang ditunjang dan didukung kaum lelaki, seperti begini, para guide yang mengantar touris akan menawarkan perempuan kepada touris lalu melaporkan hal itu kepada saudara laki-laki dari perempuan tersebut dan mereka akan meminta toris tersebut membayar denda. Hal ini dilakukan berualng kali, namun entah sengaja atau tidak para perempuan ini tatp saja melakukan praktek ini.

Hal-hal yang disebutkan diatas sudah menjadi kebiasaan dan nampak jelas praktek-praktek eksploitasi perempuan dan hal ini merupakan kekerasan yang dilakukan oleh budaya tanpa perempuan itu sendiri mengetahui bahwa telah terjadi pelanggran terhadap hak asasinya.
 
3. Kekerasan terhadap Perempuan oleh Negara

Kekerasan yang dilakukan oleh negara jelas sekali nampak dalam berbagai kebijakan yang dikeluarkannya terutama selama rezim Orde baru berkuasa sampai saat ini. Untuk kasus Papua, saya tidak akan menguraikan seluruh kebijakan tersebut, namun hanya beberapa kebijakan saja yang langsung berakibat pada perempuan papua. Kebijakan-kebijakan tersebut seperti, kebijakan di bidang kesehatan, HPH, Pertambangan dan Keamanan.

a. Kesehatan

Konsisi kesehatan sebuah negara dikatakan baik apabila angka kematian ibu dan anak menurun. Ini adalah indikator utama yang berlaku pada semua negara. Namun kenyataan di papua seperti begini: setiap tahun ada 334 perempuan yang meninggal maternal, ada ¼ perempuan dewasa menderita karena status maternal mereka, ada 25000 kehamilan yang tidak diharapkan masih terjadi di papua dan ada 2500 kematian perinatal bisa dihindari dengan memperbaiki status gizi ibu dan pelayanan yang baik. Jika kenyataan seperti begini maka perlu dipertanyakan mengapa ada berbagai program kesehatanmasyarakat terutama untuk ibu dan anak yang diproduksikan namun kenyataan yang ada jauh sekali dari yang diharapkan?
Kasus Papua, adalah salah satu dari kebijakan pemerintah yang boleh dikatakan gagal. Hal ini dapat dikatakan demikian karena, sara dan prasarana kesehatan yang dibangun sama sekali tidak mampu untuk meningkatkan kesehatan masyarakat.  Moi adalah salah satu yang ditampilkan disini, dimana keterbatasan sarana kesehatan, obat-obatan serta tenaga medis yang minim membuat para perempuan Moi harus menjadi korban.

Kebijakan pemerintah lain dibidang kesehatan yang merugikan kaum perempuan papua adalah dengan adanya program Keluarga berencana (Famili Planning).  Dimana hak mereka untuk melahirkan dengan paksa diputuskan karena harus mensukseskan program KB. Mereka tidak diberi kesempatan untuk memilih program KB dan juga tidak mendapatkan informasi yang jelas tentang baik buruknya program tersebut. Dan petugas KB pun tidak membaca kondisi ibu dan sebagainya, sehingga banyak ksusu KB yang terjadi, para ibu yang mengikuti program KB spiral , spiralnya hilang entah kemana karena beban kerja mereka sangat berat.

b. Kekerasan terhadap perempuan di Daerah Operasi Militer

Kebijakan keamanan yang dilakukan pemerintah, saat ini adalah pertama untuk mengamankan asset negara dan kedua untuk menumpas habis kelompok orang yang mengganggu keamanan Negara. Dan Papua sebagai salah satu propinsi yang melimpah dengan sumberdaya alam, tentu merupakan daerah yang subur untuk para investor menanamkan modalnya. Akibat dari itu ada banyak perusahaan-perusahaan besar dan kecil yang dibuka dengan merampas hak-hak masyarakat yang ada disekitarnya dan untuk menutup mulut, supaya tidak ada perlawanan, maka perusahan-perusahan itu akan gunakan militer untuk menjaga keamanan.

Kasus yang dialami mama Josepha,  seorang perempuan Amungme yang disekap selama tiga bulan dalam Container milik PT Freeport, adalah contoh  kekerasan yang dibuat negara hanya untuk melindungi aset negara. Kekerasan-kekerasan seperti begini terjadi disemua tempat di Papua.
Kekerasan lain yang dilakukan oleh militer pada daerah-daerah operasi militer, pertama di daerah-daerah yang diduga ada tentara OPM dan di sekitar wilayah perbatasan RI – Papua Nugini. Kekerasan terhadap perempuan di daerah Operasi Militer adalah kisah-kisah yang tidak perna akan dilupakan baik oleh perempuan yang menjadi korban maupun masyarakat pada umumnya.

Dan kekerasan yang dilakukan oleh militer di papua, polanya sama, antara lain kekerasan fisik dan non fisik sebagai berikut: intimidasi, perkosaan, foto telanjang, penyiksaan fisik dan pelecehan seksual. Dan semua ini dilakukan terhadap kaum perempuan dan anak-anak. Mengapa perempuan dan anak-anak selalu menjadi korban kekerasan, sebagaimana dijelaskan diatas, kekerasan yang dibuat militer adalah untuk memancing OPM  keluar dari hutan, untuk itu sasarannya adalah perempuan dan anak-anak.
 
Dalam peristiwa Mapenduma, misalnya, setelah pembebasan sandera, penduduk sipil menjadi korban, terutama anak-anak dan perempuan, di daerah Bela, Alama, Jila dan Mapenduma, dilaporkan bahwa sejak desember 1996 sampai dengan Oktober 1997 ada ii warga sipil yang ditembak, 2 orang hilang dan 3 lainnya luka-luka terkena tembak oleh aparat keamanan. Sedangka 126 orang lainnya meninggal dunia  karena kekurangan pangan dan penyakit. Dari 126 orang tersbut, 85 % adalah penduduk sipil (ElS-HAM IRJA).

Laporan Tiga Gereja mengenai kasus perkosaan di wilayah operasi militer telah  disampaikan kepada United Nations,Special Rapporteur in Violence Againts Women di Jakarta pada tanggal 26 November  1998.  Dan ada daerah-daerah lain yang belum dilaporkan seperti kasus di daerah Mendiptana dan Waropko. Disana banyak sekali kasus kekerasan yang dialami perempuan  yang belum dilaporkan
 
4. Kesimpulan

Kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan di Papua, yang kemudian dikelompokkan menjadi kekerasan yang dilakukan oleh budaya dan kekerasan yang dilakukan oleh negara yang mana keduanya mengarah ada hal yang sama yakni pelanggaran terhadap  hak-hak asasi perempuan. Kekerasan yang terjadi adalah suatu kejahatan kemanusiaan dan oleh sebab itu harus dikutuk. Dan kekerasan ini nyata-nyata dilakukan oleh negara dalam bentuk kebijakan-kebijakan yang diimplemantasikan dalam program pembangunan.

Kebanyakan kaum perempuan yang menjadi korban adalah mereka yang hidup pada kelompok-kelompok masyarakat dimana wilayahnya dijadikan sebagai daerah Operasi Militer. Di samping itu daerah-daerah lain sebagai dampak dari pembangunan yang sedang berjalan.

Dan dari kedua bentuk kekerasan yang dipaparkan didepan ternyata dapatlah disimpulkan bahwa negara harus bertanggungjawab terhadap kekerasan yang terjadi terhadap perepmuan di Papua karena korban terbanyak dari kekerasan terhadap perempuandi sini adalah kekerasan yang dilakukan oleh aparat milietr terutama di daerah-daerah operasi militer.

Akibat dari diberlakukannya DOM, kaum perempuan dan anak-anak terancam kehidupannya dan  kehidupan kampung yang tadinya tenang menjadi gelisah.
Dalam budaya terdapat praktek-praktek yang sangat membatasi akses perempuan untuk mendapatkan haknya, terutama kesehatan. Dan sehat merupakan salah satu hak asasi manusia yang dimiliki oleh setiap manusia dan untuk itu, perlu petugas kesehatan perlu mengetahui budaya setempat sebelumnya sehingga ia dapat mengatasi hal-hal yang sebenarnya bisa diatasinya. [D-Tiwaiwode]**

Bagikan Postingan Ini :

Posting Komentar

 
Copyright © 2014. MEE YAGAMO YEIMO - FREE WEST PAPUA