Ia seorang perempuan yang paras rupawan. Ia
ibarat, Dewa, matahari, bulan, ataupun yang lainnya. Namun kehidupan
telah merubah semuanya itu. Kini Ia menjadi seorang yang penuh sengsara,
Ia harus menanggung segala beban penderitaan yang seharusnya tidak Ia
terima. Badan kurus, kekurangan gizi, rahimnya dirusak, buah susunya di
potong, nyawa suami dan anaknya di cincang lalu dibunuh dibawah laras
senjata dan bom yang menghancurkan kampong asal usulnya, bahkan untuk
menyelamatkan negerinya, nyawapun Ia korbankan…
Oleh : Mekaa D. Gobay
Oleh : Mekaa D. Gobay
Foto Ilustrasi : Mama-mama Papua Barat |
Persoalan perempuan merupakan persoalan yang sampai hari menjadi permasalahan yang sangat serius dan terjadi secara global. Tanpa memandang usia, etnis, golongan dan agama semua perempuan di belahan bumi selalu menjadi korban kekerasan baik dari segi budaya, social, agama, ekonomi kesehatan dan lainnya. Walaupun banyak aktifis perempuan dan pemerhati perempuan yang telah berjuang bahkan sampai hari ini namun kenyataannya tidak ada perubahan secara signifikan yang terjadi pada perempuan karena perempuan sampai hari ini masih selalu menjadi korban.
Yang namanya perempuan di belahan dunia manapun, baik Eropa,
Amerika, Asia, Australia ataupun Pasifik selalu menjadi korban
kebiadapan zaman. Dari zaman ke zaman mulai dari jaman Batu sampai
dengan jaman Modern seperti sekarang perempuan adalah korban.
Dari sekian banyak alasan mengapa perempuan selalu menjadi korban,
maka disini saya akan memaparkan beberapa peristiwa yang terjadi pada
perempuan yang berada di wilayah konflik, sesuai dengan jadwal diskusi
hari ini yang di buat oleh kawan-kawan Jaringan Nasional Perempuan
Mahardika.
Sebelum membahas lebih jauh, maka kita akan mencari tahu pengertian tentang konflik, wilayah konflik dan kekerasan terhadap perempuan.
1. Pengertian Konflik
Konflik berasal dari bahasa Latin Conflictus yang artinya pertentangan. Secara sederhana konflik dapat diartikan sebagai: ”Perselisihan, pertentangan, percecokan yang merupakan pengalaman hidup paling mendasar, karena meskipun tidak harus, tetapi mungkin bahkan amat mungkin terjadi. Konflik terjadi manakala dalam hubungan antara dua orang atau dua kelompok, perbuatan yang satu berlawanan dengan perbuatan yang lain, sehingga salah satu atau keduanya saling terganggu” (Harjana, 1971:63).
Sebelum membahas lebih jauh, maka kita akan mencari tahu pengertian tentang konflik, wilayah konflik dan kekerasan terhadap perempuan.
1. Pengertian Konflik
Konflik berasal dari bahasa Latin Conflictus yang artinya pertentangan. Secara sederhana konflik dapat diartikan sebagai: ”Perselisihan, pertentangan, percecokan yang merupakan pengalaman hidup paling mendasar, karena meskipun tidak harus, tetapi mungkin bahkan amat mungkin terjadi. Konflik terjadi manakala dalam hubungan antara dua orang atau dua kelompok, perbuatan yang satu berlawanan dengan perbuatan yang lain, sehingga salah satu atau keduanya saling terganggu” (Harjana, 1971:63).
Pengertian yang hampir sama dengan yang dikemukakan di atas, menurut
Webster (1966), konflik di dalam bahasa aslinya berarti suatu
”perkelahian, peperangan, atau perjuangan”, yaitu berupa konfrontasi
fisik antara beberapa pihak. Tetapi arti kata itu kemudian berkembang
dengan maksud ”ketidaksepakatan yang tajam atau oposisi atas berbagai
kepentingan, ide dan lain-lain”. Dengan kata lain, istilah tersebut
sekarang juga menyentuh aspek psikologis di balik konfrontasi fisik itu
sendiri. Secara singkat, istilah konflik menjadi begitu meluas hingga
beresiko kehilangan statusnya sebagai sebuah konsep tunggal (Pruit dan
Rubin, 2004:9). Berangkat dari konsepsi ini, Dean G. Pruit dan Jeffrey
Z. Rubin mendefinisikan konflik sebagai: ”Persepsi mengenai perbedaan
kepentingan (perceived divergence of interest), atau suatu kepercayaan
bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara
simultan” (Pruit & Rubin, 2004:10).
Konflik juga dapat diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua
orang atau lebih (kelompok) dimana salah satu pihak berusaha
menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak
berdaya. Terjadinya saling menghancurkan antara satu pihak dengan pihak
yang lain secara umum dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan ciri-ciri
yang dibawa individu dalam suatu interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut
diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat
istiadat, keyakinan, ideologi dan lain sebagainya. Oleh karena
perbedaan adalah sebuah kenyataan yang dimiliki oleh manusia, maka
konflik adalah sesuatu yang wajar terjadi di masyarakat, konflik hanya
akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Konflik
bertentangan dengan integrasi.
Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat.
2. Wilayah Konflik
Daerah yang dianggap dan di lambangkan sebagai daerah Merah, yaitu tempat dimana bermukimnya orang atau sekelompok orang yang dianggap mengganggu kepentingan orang lain sebagai penguasa.
3. Kekerasan terhadap Perempuan.
Kekerasan terhadap perempuan merupakan persoalan berbasis ketidakadilan gender yang terjadi umum dan universal di berbagai budaya dan masayarakt. Menurut Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap perempuan pasal 1, yang dimaksudkan dengan kekerasan terhadap perempuan adalah “semua tindakan kekerasan berbasis gender mengakibatkan atau sangat mungkin mengakibatkan kerugian fisik, seksual dan psikologis terhadap perempuan, termasuk ancaman-ancaman seperti tindakan-tindakan, pemaksaan atau perampasan kebebasan secara sewenang-wenang, apakah terjadi di ruang publik ataupun di ruang privat” (Economic and Social Council 1992).
B. Perempuan Di Wilayah Konflik
Setiap makhluk hidup yang berada dan bertumbuh kembang di wilayah konflik tidak akan merasa nyaman, senyaman makhuluk hidup yang berada di wilayah yang aman. Tidak luput para perempuan, baik muda maupun tua yang bertempat tinggal di wilayah konflik mengalami berbagai macam tindak kekerasan yang sagat kejam.
Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat.
2. Wilayah Konflik
Daerah yang dianggap dan di lambangkan sebagai daerah Merah, yaitu tempat dimana bermukimnya orang atau sekelompok orang yang dianggap mengganggu kepentingan orang lain sebagai penguasa.
3. Kekerasan terhadap Perempuan.
Kekerasan terhadap perempuan merupakan persoalan berbasis ketidakadilan gender yang terjadi umum dan universal di berbagai budaya dan masayarakt. Menurut Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap perempuan pasal 1, yang dimaksudkan dengan kekerasan terhadap perempuan adalah “semua tindakan kekerasan berbasis gender mengakibatkan atau sangat mungkin mengakibatkan kerugian fisik, seksual dan psikologis terhadap perempuan, termasuk ancaman-ancaman seperti tindakan-tindakan, pemaksaan atau perampasan kebebasan secara sewenang-wenang, apakah terjadi di ruang publik ataupun di ruang privat” (Economic and Social Council 1992).
B. Perempuan Di Wilayah Konflik
Setiap makhluk hidup yang berada dan bertumbuh kembang di wilayah konflik tidak akan merasa nyaman, senyaman makhuluk hidup yang berada di wilayah yang aman. Tidak luput para perempuan, baik muda maupun tua yang bertempat tinggal di wilayah konflik mengalami berbagai macam tindak kekerasan yang sagat kejam.
Berbagai bentuk kekerasan yang dapat di identifikasi adalah:
pemerkosaan, penyiksaan, pelecehan, pemukulan, dan masih banyak lagi
tindakan yang sangat menggores luka, sehingga perempuan di wilayah itu
sering mengalami luka yang tidak pernah disembuhkan alias luka peradaban
zaman.
Akibat dari pada tekanan-tekanan yang selalu di hadapi oleh perempuan maka
muncullah perlawanan-perlawanan dari perempuan yang walaupun tidak di ingat oleh sejarah namun selalu saja ada di beberapa tempat.
Akibat dari pada tekanan-tekanan yang selalu di hadapi oleh perempuan maka
muncullah perlawanan-perlawanan dari perempuan yang walaupun tidak di ingat oleh sejarah namun selalu saja ada di beberapa tempat.
Dampak dari pada penderitaan yang selalu dialami oleh kaum perempuan
di wilayah konflik, maka banyak perempuan yang mengalami gangguan jiwa
seperti stress, gila, cacat tubuh, menjadi janda, menjadi yatim, menjadi
miskin dan melarat dan lain-lain. Berikut ini akan di paparkan
bentuk-bentuk kekerasan yang di alami oleh kaum perempuan yang berada di
wilayah konflik.
C. Bentuk-bentuk Kekerasan pada Perempuan di Wilayah Konflik.
Secara garis besar bentuk-bentuk kekerasan yang dialami oleh perempuan yang berada di wilayah konflik adalah sama. Dengan melihat kesamaan bentuk-bentuk tersebut, maka saya akan menguraikannya menjadi beberapa bagian seperti, pemerkosaan, pemukulan/penyiksaan, penghinaan/pengucilan, perampasan harta benda dan penghilangan nyawa/pembunuhan.
C. Bentuk-bentuk Kekerasan pada Perempuan di Wilayah Konflik.
Secara garis besar bentuk-bentuk kekerasan yang dialami oleh perempuan yang berada di wilayah konflik adalah sama. Dengan melihat kesamaan bentuk-bentuk tersebut, maka saya akan menguraikannya menjadi beberapa bagian seperti, pemerkosaan, pemukulan/penyiksaan, penghinaan/pengucilan, perampasan harta benda dan penghilangan nyawa/pembunuhan.
Sejumlah fakta yang dikumpulkan dan dipublikasikan lewat media
seperti TV, Radio, Koran, Majalah atau buku dapat disimpulkan bahwa
perempuan-perempuan yang berada di daerah konflik mengalami korban
kekerasan seksual yaitu pemerkosaan, pemukulan/penyiksaan,
penghinaan/pengucilan, perampasan harta benda dan pembunuhan Pemerkosaan
ini sering dilakukan secara individu maupun secara kelompok dengan
bergantian bak antri makanan karena kelaparan.
Banyak contoh kasus yang terjadi baik di regional maupun
internasional mengungkapkan bagaimana penderitaan yang diterima oleh
kaum perempuan karena status mereka sebagai penghuni di daerah konflik.
Di dunia internasional misalnya, Palestina, Irak dan Afganistan. Di
ketiga daerah ini perempuan baik usia kecil maupun dewasa bahkan nenek
pun di perkosa. Di Afrika, jika menonton Film Tears Of The Sun, maka
akan ditemukan bagaimana tentara pemberontak memperkosa
perempuan-perempuan setelah diperkosa mereka memotong buah dada
perempuan lalu menusuk kemaluan dengan kayu ataupun benda-benda lainnya.
Tidak hanya itu, perempuan-perempuan di Vietnam, Amerika Latin
seperti: Kuba, Guetamala, Indian, perempuan di Taiwan, pasifik,
Australia suku Aborigin, juga mengalami nasib yang yang sama. Perang
yang terjadi antara kedua suku di Rwanda juga mengisahkan bagaimana
perempuan mengalami pemerkosaan, pemukulan, dan penyiksaan yang sangat
menakutkan.
Dari sekilas penjelasan di atas dapat mengingatkan kita akan
penderitaan yang di alami oleh kawan-kawan perempuan di negeri ini
seperti di Aceh, peristiwa Tanjung Periok, Poso, Maluku, Papua dan yang
lainnya. Beberapa aktifis Indonesia melaporkan data tentang kekerasan
yang dialami oleh perempuan di beberapa tempat di Indonesia yang selalu
menjadi rawan konflik. Seorang aktifis, Ita F Nadia dari Komisi
Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan memaparkan
kasus-kasus pemerkosaan dan serangan seksual yang terjadi di
wilayah-wilayah yang ditetapkan pemerintah sebagai Daerah Operasi
Militer (DOM), seperti Timor Timur (dulu) dan Aceh, dan saat terjadinya
kerusuhan, seperti peristiwa kerusuhan Mei di Jakarta.
Dia mengungkapkan bahwa sejak aneksasi Indonesia ke wilayah Timor
Timur pada tahun 1975, banyak yang menandatangani surat pernyataan bahwa
mereka telah diperkosa oleh tentara dan melahirkan anak. Beberapa
perempuan diperkosa beramai-ramai karena dituduh mempunyai hubungan
dengan kelompok resisten di gunung.
Pekerja kemanusiaan Ade Rostina Sitompul, yang bekerja untuk para
korban di Timor Timur sejak akhir tahun 1980-an, juga memaparkan
sejumlah fakta pahit yang hampir tidak terbayangkan di dalam peradaban
modern saat ini. Dia mengungkapkan bahwa selain polanya sistematis, saya
juga bertemu dengan korban pemerkosaan massal di Timor Timur pada tahun
1983. Peristiwa itu sendiri baru terungkap pada tahun 1987.
Praktik-praktik semacam ini , menurut Ade Rostina, juga dilakukan selama
bertahun-tahun di Timor Timur.
Peristiwa serupa, menurut Ita, terjadi juga di Mindiptana, di
sebelah atas Merauke, Papua. Ketika berkeliling ke Papua beberapa bulan
lalu, Ita bertemu 10 saksi yang menyatakan bahwa di pos-pos militer,
dipajang foto-foto perempuan setempat. Para perempuan itu menjadi
seperti sandera yang tidak bisa keluar dari kampungnya karena diancam
oleh tentara, tetapi sekaligus juga dianggap “sampah” oleh
masyarakatnya.
Dua pekerja HAM ini memaparkan, praktik-praktik pemerkosaan dan serangan seksual terhadap perempuan di wilayah konflik seperti di Aceh saat ini tidak ada bedanya dengan apa yang terjadi di Timor Timur (dulu) dan di Papua.
Dua pekerja HAM ini memaparkan, praktik-praktik pemerkosaan dan serangan seksual terhadap perempuan di wilayah konflik seperti di Aceh saat ini tidak ada bedanya dengan apa yang terjadi di Timor Timur (dulu) dan di Papua.
Otto Syamsuddin Ishak, sosiolog, yang kini bekerja di organisasi
nonpemerintah Yappika (Yayasan Penguatan Partisipasi, Insiatif, dan
Kemitraan Masyarakat) menambahkan fakta-fakta kekerasan seksual yang
dilakukan di Rumoh Geudong di Aceh. Dia menceritakan, “Saya disiksa di
Geudong. Saya ditelanjangi dan kemudian …..," papar Otto, mengutip
beberapa kesaksian yang dituliskan ulang oleh Dyah Rahmany P dalam Rumoh
Geudong: Tanda Luka Orang Aceh (2001). Dalam peristiwa itu mereka
menceritakan bahwa “Suatu malam, kami perempuan diperintahkan untuk
bangun. Katanya, ’hai babi, anjing, bangun!’ Kami ditendang ke sebuah
lorong.
Penggunaan pemerkosaan dalam konflik bersenjata mencerminkan
wataknya sebagai teror khusus untuk menundukkan suatu bangsa atau etnis
karena seksualitas perempuan adalah simbol penerus bangsa. Berkaitan
dengan hal itu Ita mengungkapkan bahwa: “Rahim perempuan adalah pusat
reproduksi biologis, sosial, dan politik. Artinya, mati hidup suatu
keluarga, kelompok, etnis, dan bangsa tergantung dari proses reproduksi
perempuan” (Diskusi oleh Imparsial: Perlindungan terhadap Perempuan di
Wilayah Konflik).
Perempuan selalu menjadi korban pemerkosaan dalam situasi konflik bersenjata, oleh siapa saja. Alexandra Stiglmayer dalam Mass Rape: The War Against Women in Bosnia-Herzegovina (1997) menulis bahwa pemerkosaan merupakan tindak agresif dan penuh penghinaan. Laki-laki bersenjata memperkosa karena ia ingin memperlihatkan kekuasaannya.
Perempuan selalu menjadi korban pemerkosaan dalam situasi konflik bersenjata, oleh siapa saja. Alexandra Stiglmayer dalam Mass Rape: The War Against Women in Bosnia-Herzegovina (1997) menulis bahwa pemerkosaan merupakan tindak agresif dan penuh penghinaan. Laki-laki bersenjata memperkosa karena ia ingin memperlihatkan kekuasaannya.
Di Papua mama Yosepha dalam kesaksian mengungkapkan bagaimana
kekerasan yang dia alami bersama suaminya. Mama Yosefa Alomang (54),
sebagai pejuang HAM diPapua, yang juga peraih penghargaan HAM Yap Thien
Award 1999, mengatakan, pelanggaran HAM di Papua tidak pernah diproses
di pengadilan. Dirinya adalah korban pelanggaran HAM paling besar. Dia
pernah bercerita bahwa: “Tengah malam, ketika tidur saya didatangi
tentara lengkap dengan senjata. Saya bersama suami ditarik dari dalam
kelambu ditendang dan dipukul berulang-ulang. Kami disiksa seperti
binatang, dipukul, dan dicaci maki.”
Tidak hanya itu, dalam laporan Tiga Gereja (GKI, Katolik dan
GKII) melaporkan bahwa Perkosaan antara lain pernah dialami oleh
penduduk Jilla sekitar tahun 1987-1988, dalam operasi pengejaran tokoh
Organisasi Papua Merdeka (OPM) Kelli Kwalik oleh ABRI (TNI). Sepuluh
orang tercatat diperkosa dibawah ancaman senjata. Perkosaan telah
menyebabkan sebagian korban mengandung dan melahirkan bayi. Perkosaan
juga dialami oleh perempuan di daerah-daerah Mapenduman, Nggeselema
Bela, Alama, Jila dan sekitarnya pada sekitar tahun 1996-1998 yang
dilakukan oleh beberapa orang tentara. Investigasi lapangan yang
dilakukan Gereja Kemah Injil Indonesia Wilayah Irian Jaya, Gereja
Kristen Injili di Irian Jaya dan Keuskupan Jayapura mencatat beberapa
beberapa perkosaan terjadi. Pekerja hak asasi manusia di Papua, John
Rumbiak, menegaskan bahwa 13 kasus perkosaan tercatat pada peristiwa
ini, termasuk seorang anak yang berumur 3 tahun (West Papua News, 13
September 2003).
Dari penjelasan di atas dapat menjelaskan bahwa perempuan yang
berada dalam situasi konflik bersenjata selalu mengalami berbagai macam
kekerasan yang di lakukan oleh militer sebagai pelaku kekerasan. Berikut
akan di jelskan mengapa bentuk-bentuk kekerasan itu dapat terjadi dan
di lakukan pada perempuan dan anak.
D. Alasan dan Tujuan Kekerasan pada Perempuan di Wilayah Konflik.
Tindakan yang di lakukan oleh militer dan pemberontak yang menjadi musuh selalu mengorbankan perempuan. Banyak alasan yang bisa di kemukakan berkaitan dengan hal tersebut. Alasan mengapa perempuan menjadi korban kekerasan, karena perempuan dianggap sebagai mata-mata, perempuan di tuduh menyembunyikan musuh, perempuan sebagai anggota keluarga musuh, sehingga kerapkali perempuan di siksa, seperti tangan di iris, di strom, dipukul, diperkosa dan di bunuh.
D. Alasan dan Tujuan Kekerasan pada Perempuan di Wilayah Konflik.
Tindakan yang di lakukan oleh militer dan pemberontak yang menjadi musuh selalu mengorbankan perempuan. Banyak alasan yang bisa di kemukakan berkaitan dengan hal tersebut. Alasan mengapa perempuan menjadi korban kekerasan, karena perempuan dianggap sebagai mata-mata, perempuan di tuduh menyembunyikan musuh, perempuan sebagai anggota keluarga musuh, sehingga kerapkali perempuan di siksa, seperti tangan di iris, di strom, dipukul, diperkosa dan di bunuh.
Berkaitan dengan hal itu, Khairani Arifin seorang aktivis
perempuan dari organisasi Flower Aceh menyatakan bahwa ada tiga alasan
mengapa wanita Aceh diperkosa oleh anggota ABRI (Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia). Pertama, seorang perempuan dapat diperkosa karena
dituduh, bahwa suaminya menjadi anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Kedua, perempuan dituduh sebagai anggota GAM. Ketiga, perempuan sebagai
tempat pelampiasan seks anggota ABRI. (Simopiaref, 1999). Hal demikian
juga yang terjadi di Papua dan di tempat lainnya yang menjadi daerah
rawan konflik. Banyak Perempuan Papua yang dibunuh setelah diperkosa.
Angka pembunuhan dan penghilangan yang telah tercatat sejak tahun
1960-an hingga saat ini (1999) menunjukkan indikasi sekitar 400.000
orang.
Tidak hanya itu, perlakuan kekerasan juga dalam bentuk lebih
sadis lagi yakni bagian anggota tubuh di potong lalu di suruh makan,
atau perempuan sebagai anak atau ibu di suruh potong telinga ibunya lalu
makan ataupun sebaliknya. Kejadian yang lainnya adalah suami istri di
suruh bersetubuh di depan umum kemudian di bunuh, yang lainnya adalah
seorang ibu atau anak di perkosa di depan orang tuanya atau suaminya
lalu di bunuh.
Perempuan di Papua seperti di dua daerah operasi militer lain, Aceh
dan Timor Timur kemudian mengalami penyiksaan, perkosaan atau bahkan
menjadi perempuan simpanan personel militer, seperti dikemukakan oleh
Pelapor Khusus PBB untuk Kekerasan terhadap Perempuan ketika dia
berkunjung ke Indonesia pada 1998.
Banyak sekali tindakan yang di alami oleh kaum perempuan. Tidak
hanya nyawa yang dirampas, perempuan juga sering kali kehilangan harta
benda karena rumah, sawah dan ternak mereka di basmi begitu saja.
Semua perlakukan ini tidak terjadi begitu saja. Karena di balik dari
peristiwa tersebut tersembunyi tujuan-tujuan tertentu. Beberapa tujuan
yang bisa disebutkan di sini adalah untuk memancing keluar musuh dari
persembunyian, agar musuh dapat menyerah, untuk mengatakan kepada musuh
bahwa mereka laki-laki perkasa yang kuat atau sebagai pemenang, untuk
meninggalkan kenangan yang betul-betul membuat marah.
Anne Feith – seorang peneliti dari Queensland University –
bahwa dalam situasi konflik atau perang, kekerasan terhadap perempuan
menjadi sebuah cara yang umum dipakai untuk mempermalukan dan menteror
penduduk sipil yang dianggap sebagai musuh. Perkosaan misalnya, menjadi
alat untuk mengintimidasi dan juga meruntuhkan moral musuh. Hal terakhir
terjadi ketika perempuan dilihat sebagai milik laki-laki dan merupakan
simbol kehormatan laki-laki.
Alexandra Stiglmayer dalam Mass Rape: The War Against Women in
Bosnia-Herzegovina (1997) menulis, pemerkosaan merupakan tindak agresif
dan penuh penghinaan. Laki-laki bersenjata memperkosa karena ia ingin
memperlihatkan kekuasaannya. “Di berbagai wilayah konflik bersenjata
seperti Bosnia Herzegovina dan Kroasia, Rwanda, dan lain-lain,
pemerkosaan digunakan sebagai alat "pembersihan etnis.” ujar Stiglmayer,
mengutip para ahli dari komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang
melakukan penyelidikan mengenai pemerkosaan di bekas negara Yugoslavia.
Ia melanjutkan bahwa “Pemerkosaan di wilayah seperti itu tidak bisa
dilihat sebagai insiden dari agresi militer, tetapi justru merupakan
taktik atau strategi agresi.”
Berbagai organisasi HAM menengarai praktik-praktik pemerkosaan di
dalam perang digunakan sebagai “senjata perang”. Berkaitan dengan hal
ini Stiglmayer menguraikan bahwa pemerkosaan terhadap perempuan oleh
tentara di dalam atau di luar rumah secara bersama-sama dengan perempuan
lain, dan dilakukan berkali-kali, harus dilihat memiliki tujuan
politik, untuk mengintimidasi, merendahkan, menghina korban dan semua
pihak yang terimbas dampak praktik tersebut.
Artinya, tidak ada pemerkosaan yang dilakukan dalam situasi konflik
yang tidak memiliki tujuan tertentu. Setiap perang memiliki motivasi
sendiri-sendiri ketika menggunakan pemerkosaan sebagai salah satu
strateginya. Motif kunci tentara Rusia yang memperkosa perempuan Jerman
ketika Rusia menginvasi Jerman pada tahun 1945 adalah pembalasan dan
dorongan untuk menghancurkan kebanggaan bangsa Jerman, yang merasa
paling tinggi di antara segala ras di dunia. Motif pembalasan banyak
dilakukan dalam perang oleh pemenang perang
E. Perlindungan Hukum bagi Perempuan Korban Kekerasan di Wilayah Konflik
Perlindungan terhadap perempuan telah di buat baik oleh PBB maupun melalui kebijakan-kebijakan Negara yang di implementasikan lewat peraturan daerah maupun yang lainnya. Walaupun sudah ada produk hukum yang diatur untuk melindungi para perempuan dan anak yang menjadi korban tindakan kekerasan, namun sampai saat ini tidak satupun pelaku yang berhasil di hukum.
E. Perlindungan Hukum bagi Perempuan Korban Kekerasan di Wilayah Konflik
Perlindungan terhadap perempuan telah di buat baik oleh PBB maupun melalui kebijakan-kebijakan Negara yang di implementasikan lewat peraturan daerah maupun yang lainnya. Walaupun sudah ada produk hukum yang diatur untuk melindungi para perempuan dan anak yang menjadi korban tindakan kekerasan, namun sampai saat ini tidak satupun pelaku yang berhasil di hukum.
Kasus Tanjung Periok misalnya, sampai saat ini, tidak ada
penjelasan dan penangkapan bagi pelaku kekerasan seksual, kasus Aceh,
Papua dan wilayah lainnya di Indonesia belum terselesaikan secara
tuntas. Biasanya kasus-kasus seperti ini adalah permainan dimana Negara
turut sebagai pelaku sehingga kedok Negara di sembunyikan sedemikian
rupa agar masyarakat tetap percaya pada Negara, pada hal tujuan utama
dari adanya Negara dan pemerintah adalah untuk melindungi masyarakat.
Hal yang terjadi di Indonesia juga di alami oleh kawan-kawan
perempuan di dunia internasional, mereka mengalami hal yang sama.
Walaupun secara jelas-jelas Negara telah mebuat aturan agar pelaku
kejahatan perkosaan khususnya yang buat oleh militer terhadap perempuan
harus di hkum secara serius namun semuanya sia-sia. Apabila pelaku
ditangkappun hukumannya hanya beberapa bulan bahkan hanya di tebus
dengan uang.
F. Solusi bagi Para Korban di Wilayah Konflik.
Sudah sangat jelas, walaupun perempuan selalu menjadi korban namun perempun tidak berdaya untuk melawan karena hukum yang dibuat untuk melindungi perempuan dari perlakuan kejahatan namun seakan-akan hukum tersebut hanya merupakan pajangan belaka.
F. Solusi bagi Para Korban di Wilayah Konflik.
Sudah sangat jelas, walaupun perempuan selalu menjadi korban namun perempun tidak berdaya untuk melawan karena hukum yang dibuat untuk melindungi perempuan dari perlakuan kejahatan namun seakan-akan hukum tersebut hanya merupakan pajangan belaka.
Satu hal yang bisa membawa perempuan keluar dari persoalan
tersebut adalah perempuan sendiri. Maka perempuan sebaiknya : bersatu
dan melawan. Maksud dari kalimat itu adalah, jika kita mengalami hal
yang sama dengan perempuan yang lainnya yang tentunya berasal dari
daerah lain, entah dalam negeri maupun laur negeri maka kita harus
bersatu dan mencari jalan keluar. Bersatu tidak harus jauh-jauh terbang
ke tempat lain namun cukup di tempat kau berada. Bergabunglah kedalam
organisasi – organisasi yang berbicara persoalan perempuan.
Dengan masuk kedalam jaringan organisasi maka belajarlah
bagaimana taktik untuk melawan musuh. Jika engkau berusaha mengikuti
petunjuk ini maka suatu hari engkau dapat mengerti bahwa hanya
perempuanlah yang dapat mengerti perempuan dan perempuan sendiri yang
akan mengeluarkan perempuan lainnya dari persoalan ini.
G. Penutup
Kekerasan terhadap perempuan adalah sebuah persoalan yang perlu mendapat perhatian serius. Di wilayah konflik perempuan sangat rentan terhadap kekerasan. Kekerasan yang terjadi pada perempuan diwilayah konflik dapat terjadi karena beberapa factor seperti: Pertama, seorang perempuan dapat diperkosa karena dituduh, bahwa suaminya atau anggota keluarganya adalah salah satu musuh. Kedua, perempuan dituduh sebagai anggota musuh. Ketiga, perempuan sebagai tempat pelampiasan seks anggota ABRI.
G. Penutup
Kekerasan terhadap perempuan adalah sebuah persoalan yang perlu mendapat perhatian serius. Di wilayah konflik perempuan sangat rentan terhadap kekerasan. Kekerasan yang terjadi pada perempuan diwilayah konflik dapat terjadi karena beberapa factor seperti: Pertama, seorang perempuan dapat diperkosa karena dituduh, bahwa suaminya atau anggota keluarganya adalah salah satu musuh. Kedua, perempuan dituduh sebagai anggota musuh. Ketiga, perempuan sebagai tempat pelampiasan seks anggota ABRI.
Tindakan kekerasan seperti pemerkosaan yang di lakukan terhadap
perempuan tidak hanya terjadi begitu saja namun semuana itu dapat
terjadi karena mempunyai tujuan-tujuan tersediri, seperti pembasbian
etnis (kasus Bosnia Herzegovina dan Rwanda), taktik atau strategi
agresi (kasus Irak untuk perampasan minyak), pembalasan kepada musuh
karena kalah, (kasus Timor Timur), untuk mempermalukan dan menteror
penduduk sipil yang dianggap sebagai musuh, serta mereka ingin
menunjukan keperkasaan agar melemahkan mental musuh. Dari kesemuanya ini
perempuan yang menjadi korban
Walaupun telah dibuat suatu peraturan namun untuk menghukum para
pelaku, pada kenyataannya hukum tidak pernah berpihak pada perempuan.
Karena semuanya sangat menyulitkan perempuan maka sebaiknya perempuan
bersatu dan mulai memainkan strategi agar perempuan di waktu-waktu yang
akan datang hidup dalam suatu suasana yang aman dan tentram. Semoga!!!
Di dalam kelemahan kita, ada sebuah kekuatan, maka bangkit dan lawanlah
“HASTA LAH VICTORIA SIEMPRE”
Source : musafirkebebasan.blogspot.com
“HASTA LAH VICTORIA SIEMPRE”
Source : musafirkebebasan.blogspot.com
Posting Komentar