Headlines News :
Home » » PEREMPUAN DI WILAYAH KONFLIK

PEREMPUAN DI WILAYAH KONFLIK

Written By Unknown on Senin, 30 Juni 2014 | 06.53

Ia seorang perempuan yang paras rupawan. Ia ibarat, Dewa, matahari, bulan, ataupun yang lainnya. Namun kehidupan telah merubah semuanya itu. Kini Ia menjadi seorang yang penuh sengsara, Ia harus menanggung segala beban penderitaan yang seharusnya tidak Ia terima. Badan kurus, kekurangan gizi, rahimnya dirusak, buah susunya di potong, nyawa suami dan anaknya di cincang lalu dibunuh dibawah laras senjata dan bom yang menghancurkan kampong asal usulnya, bahkan untuk menyelamatkan negerinya, nyawapun Ia korbankan…

Oleh : Mekaa D. Gobay
 
Foto Ilustrasi : Mama-mama Papua Barat
A. Pengantar   
Persoalan perempuan merupakan persoalan yang sampai hari menjadi permasalahan yang sangat serius dan terjadi secara global. Tanpa memandang usia, etnis, golongan dan agama semua perempuan di belahan bumi selalu menjadi korban kekerasan baik dari segi budaya, social, agama, ekonomi kesehatan dan lainnya. Walaupun banyak aktifis perempuan dan pemerhati perempuan yang telah berjuang bahkan sampai hari ini namun kenyataannya tidak ada perubahan secara signifikan yang terjadi pada perempuan karena  perempuan sampai hari ini masih selalu menjadi korban.
Yang namanya perempuan di belahan dunia manapun, baik Eropa, Amerika, Asia, Australia ataupun Pasifik selalu menjadi korban kebiadapan zaman. Dari zaman ke zaman mulai dari jaman Batu sampai dengan jaman Modern seperti sekarang perempuan adalah korban.
Dari sekian banyak alasan mengapa perempuan selalu menjadi korban, maka disini saya akan memaparkan beberapa peristiwa yang terjadi pada perempuan yang berada di wilayah konflik, sesuai dengan jadwal diskusi hari ini  yang di buat oleh kawan-kawan Jaringan Nasional Perempuan Mahardika.

Sebelum membahas lebih jauh, maka kita akan mencari tahu pengertian tentang konflik, wilayah konflik dan kekerasan terhadap perempuan.

  1.  Pengertian Konflik

Konflik berasal dari bahasa Latin Conflictus yang artinya pertentangan. Secara sederhana konflik dapat diartikan sebagai: ”Perselisihan, pertentangan, percecokan yang merupakan pengalaman hidup paling mendasar, karena meskipun tidak harus, tetapi mungkin bahkan amat mungkin terjadi. Konflik terjadi manakala dalam hubungan antara dua orang atau dua kelompok, perbuatan yang satu berlawanan dengan perbuatan yang lain, sehingga salah satu atau keduanya saling terganggu” (Harjana, 1971:63).
Pengertian yang hampir sama dengan yang dikemukakan di atas, menurut Webster (1966), konflik di dalam bahasa aslinya berarti suatu ”perkelahian, peperangan, atau perjuangan”, yaitu berupa konfrontasi fisik antara beberapa pihak. Tetapi arti kata itu kemudian berkembang dengan maksud ”ketidaksepakatan yang tajam atau oposisi atas berbagai kepentingan, ide dan lain-lain”. Dengan kata lain, istilah tersebut sekarang juga menyentuh aspek psikologis di balik konfrontasi fisik itu sendiri. Secara singkat, istilah konflik menjadi begitu meluas hingga beresiko kehilangan statusnya sebagai sebuah konsep tunggal (Pruit dan Rubin, 2004:9). Berangkat dari konsepsi ini, Dean G. Pruit dan Jeffrey Z. Rubin  mendefinisikan konflik sebagai: ”Persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan” (Pruit & Rubin, 2004:10).
Konflik juga dapat diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Terjadinya saling menghancurkan antara satu pihak dengan pihak yang lain secara umum dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, ideologi dan lain sebagainya. Oleh karena perbedaan adalah sebuah kenyataan yang dimiliki oleh manusia, maka konflik adalah sesuatu yang wajar terjadi di masyarakat, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Konflik bertentangan dengan integrasi.
Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat.

2.  Wilayah Konflik

Daerah yang dianggap dan di lambangkan sebagai daerah Merah, yaitu tempat dimana bermukimnya orang atau sekelompok orang yang dianggap mengganggu kepentingan orang lain sebagai penguasa.

3. Kekerasan terhadap Perempuan.

     Kekerasan terhadap perempuan merupakan persoalan berbasis ketidakadilan gender yang terjadi umum dan universal di berbagai budaya dan masayarakt. Menurut Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap perempuan pasal 1, yang dimaksudkan dengan kekerasan terhadap perempuan adalah “semua tindakan kekerasan berbasis gender mengakibatkan atau sangat mungkin mengakibatkan kerugian fisik, seksual dan psikologis terhadap perempuan, termasuk ancaman-ancaman seperti tindakan-tindakan, pemaksaan atau perampasan kebebasan secara sewenang-wenang, apakah terjadi di ruang publik ataupun di ruang privat” (Economic and Social Council 1992).

B.  Perempuan Di Wilayah Konflik

Setiap makhluk hidup yang berada dan bertumbuh kembang di wilayah konflik tidak akan merasa nyaman, senyaman makhuluk hidup yang berada di wilayah yang aman. Tidak luput para perempuan, baik muda maupun tua yang bertempat tinggal di wilayah konflik mengalami berbagai macam tindak kekerasan yang sagat kejam.
Berbagai bentuk kekerasan yang dapat di identifikasi adalah: pemerkosaan, penyiksaan, pelecehan, pemukulan, dan masih banyak lagi tindakan yang sangat menggores luka, sehingga perempuan di wilayah itu sering mengalami luka yang tidak pernah disembuhkan alias luka peradaban zaman.

Akibat dari pada tekanan-tekanan yang selalu di hadapi oleh perempuan maka
muncullah perlawanan-perlawanan dari perempuan yang walaupun tidak di ingat oleh sejarah namun selalu saja ada di beberapa tempat.
Dampak dari pada penderitaan yang selalu dialami oleh kaum perempuan di wilayah konflik, maka banyak perempuan yang mengalami gangguan jiwa seperti stress, gila, cacat tubuh, menjadi janda, menjadi yatim, menjadi miskin dan melarat dan lain-lain. Berikut ini akan di paparkan bentuk-bentuk kekerasan yang di alami oleh kaum perempuan yang berada di wilayah konflik.

C.  Bentuk-bentuk Kekerasan pada Perempuan  di Wilayah Konflik.

     Secara garis besar bentuk-bentuk kekerasan yang dialami oleh perempuan yang berada di wilayah konflik adalah sama.  Dengan melihat kesamaan bentuk-bentuk tersebut, maka saya akan menguraikannya menjadi beberapa bagian seperti, pemerkosaan, pemukulan/penyiksaan, penghinaan/pengucilan, perampasan harta benda dan  penghilangan nyawa/pembunuhan.
    Sejumlah fakta yang dikumpulkan dan dipublikasikan lewat media seperti TV, Radio, Koran, Majalah atau buku dapat disimpulkan bahwa perempuan-perempuan yang berada di daerah konflik mengalami korban kekerasan seksual yaitu pemerkosaan, pemukulan/penyiksaan, penghinaan/pengucilan, perampasan harta benda dan pembunuhan Pemerkosaan ini sering dilakukan secara individu maupun secara kelompok dengan bergantian bak antri makanan karena kelaparan. 
    Banyak contoh kasus yang terjadi baik di regional maupun internasional mengungkapkan bagaimana penderitaan yang  diterima oleh kaum perempuan karena status mereka sebagai penghuni  di daerah konflik. Di dunia internasional misalnya, Palestina, Irak dan Afganistan. Di ketiga daerah ini perempuan baik usia kecil maupun dewasa bahkan nenek pun di perkosa. Di Afrika, jika menonton Film Tears Of The Sun, maka akan ditemukan bagaimana tentara pemberontak memperkosa perempuan-perempuan setelah diperkosa mereka memotong buah dada perempuan lalu menusuk kemaluan dengan kayu ataupun benda-benda lainnya.
 Tidak hanya itu, perempuan-perempuan di Vietnam, Amerika Latin seperti: Kuba, Guetamala, Indian, perempuan di Taiwan, pasifik, Australia suku Aborigin, juga mengalami nasib yang yang sama. Perang yang terjadi antara kedua suku di Rwanda juga mengisahkan bagaimana perempuan mengalami pemerkosaan, pemukulan, dan penyiksaan yang sangat menakutkan.
    Dari sekilas penjelasan di atas dapat mengingatkan kita akan penderitaan yang di alami oleh kawan-kawan perempuan di negeri ini seperti  di Aceh, peristiwa Tanjung Periok, Poso, Maluku, Papua dan yang lainnya. Beberapa aktifis Indonesia melaporkan data tentang kekerasan yang dialami oleh perempuan di beberapa tempat  di Indonesia yang selalu menjadi rawan konflik. Seorang aktifis, Ita F Nadia dari Komisi Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan  memaparkan kasus-kasus pemerkosaan dan serangan seksual yang terjadi di wilayah-wilayah yang ditetapkan pemerintah sebagai Daerah Operasi Militer (DOM), seperti Timor Timur (dulu) dan Aceh, dan saat terjadinya kerusuhan, seperti peristiwa kerusuhan Mei di Jakarta.
Dia mengungkapkan bahwa sejak aneksasi Indonesia ke wilayah Timor Timur pada tahun 1975, banyak yang menandatangani surat pernyataan bahwa mereka telah diperkosa oleh tentara dan melahirkan anak. Beberapa perempuan diperkosa beramai-ramai karena dituduh mempunyai hubungan dengan kelompok resisten di gunung.
Pekerja kemanusiaan Ade Rostina Sitompul, yang bekerja untuk para korban di Timor Timur sejak akhir tahun 1980-an, juga memaparkan sejumlah fakta pahit yang hampir tidak terbayangkan di dalam peradaban modern saat ini. Dia mengungkapkan bahwa selain polanya sistematis, saya juga bertemu dengan korban pemerkosaan massal di Timor Timur pada tahun 1983. Peristiwa itu sendiri baru terungkap pada tahun 1987. Praktik-praktik semacam ini , menurut Ade Rostina, juga dilakukan selama bertahun-tahun di Timor Timur.
Peristiwa serupa, menurut Ita, terjadi juga di Mindiptana, di sebelah atas Merauke, Papua. Ketika berkeliling ke Papua beberapa bulan lalu, Ita bertemu 10 saksi yang menyatakan bahwa di pos-pos militer, dipajang foto-foto perempuan setempat. Para perempuan itu menjadi seperti sandera yang tidak bisa keluar dari kampungnya karena diancam oleh tentara, tetapi sekaligus juga dianggap “sampah” oleh masyarakatnya.

Dua pekerja HAM ini memaparkan, praktik-praktik pemerkosaan dan serangan seksual terhadap perempuan di wilayah konflik seperti di Aceh saat ini tidak ada bedanya dengan apa yang terjadi di Timor Timur (dulu) dan di Papua. 
Otto Syamsuddin Ishak, sosiolog, yang kini bekerja di organisasi nonpemerintah Yappika (Yayasan Penguatan Partisipasi, Insiatif, dan Kemitraan Masyarakat) menambahkan fakta-fakta kekerasan seksual yang dilakukan di Rumoh Geudong di Aceh. Dia menceritakan, “Saya disiksa di Geudong. Saya ditelanjangi dan kemudian …..," papar Otto, mengutip beberapa kesaksian yang dituliskan ulang oleh Dyah Rahmany P dalam Rumoh Geudong: Tanda Luka Orang Aceh (2001). Dalam peristiwa itu mereka menceritakan bahwa “Suatu malam, kami perempuan diperintahkan untuk bangun. Katanya, ’hai babi, anjing, bangun!’ Kami ditendang ke sebuah lorong.
 Penggunaan pemerkosaan dalam konflik bersenjata mencerminkan wataknya sebagai teror khusus untuk menundukkan suatu bangsa atau etnis karena seksualitas perempuan adalah simbol penerus bangsa. Berkaitan dengan hal itu Ita mengungkapkan bahwa: “Rahim perempuan adalah pusat reproduksi biologis, sosial, dan politik. Artinya, mati hidup suatu keluarga, kelompok, etnis, dan bangsa tergantung dari proses reproduksi perempuan” (Diskusi oleh Imparsial:  Perlindungan terhadap Perempuan di Wilayah Konflik).

Perempuan selalu menjadi korban pemerkosaan dalam situasi konflik bersenjata, oleh siapa saja. Alexandra Stiglmayer dalam Mass Rape: The War Against Women in Bosnia-Herzegovina (1997) menulis bahwa pemerkosaan merupakan tindak agresif dan penuh penghinaan. Laki-laki bersenjata memperkosa karena ia ingin memperlihatkan kekuasaannya.
    Di Papua mama Yosepha dalam kesaksian mengungkapkan bagaimana kekerasan yang dia alami bersama suaminya. Mama Yosefa Alomang (54), sebagai pejuang HAM diPapua, yang juga peraih penghargaan HAM Yap Thien Award 1999, mengatakan, pelanggaran HAM di Papua tidak pernah diproses di pengadilan. Dirinya adalah korban pelanggaran HAM paling besar. Dia pernah bercerita bahwa: “Tengah malam, ketika tidur saya didatangi tentara lengkap dengan senjata. Saya bersama suami ditarik dari dalam kelambu ditendang dan dipukul berulang-ulang. Kami disiksa seperti binatang, dipukul, dan dicaci maki.”
    Tidak hanya itu, dalam laporan Tiga Gereja (GKI, Katolik dan GKII) melaporkan bahwa  Perkosaan antara lain pernah dialami oleh penduduk Jilla sekitar tahun 1987-1988, dalam operasi pengejaran tokoh Organisasi Papua Merdeka (OPM) Kelli Kwalik oleh ABRI (TNI). Sepuluh orang tercatat diperkosa dibawah ancaman senjata. Perkosaan telah menyebabkan sebagian korban mengandung dan melahirkan bayi. Perkosaan juga dialami oleh perempuan di daerah-daerah Mapenduman, Nggeselema Bela, Alama, Jila dan sekitarnya pada sekitar tahun 1996-1998 yang dilakukan oleh beberapa orang tentara. Investigasi lapangan yang dilakukan Gereja Kemah Injil Indonesia Wilayah Irian Jaya, Gereja Kristen Injili di Irian Jaya dan Keuskupan Jayapura mencatat beberapa beberapa perkosaan terjadi. Pekerja hak asasi manusia di Papua, John Rumbiak, menegaskan bahwa 13 kasus perkosaan tercatat pada peristiwa ini, termasuk seorang anak yang berumur 3 tahun (West Papua News, 13 September 2003).
    Dari penjelasan di atas dapat menjelaskan bahwa perempuan yang berada dalam situasi konflik bersenjata selalu mengalami berbagai macam kekerasan yang di lakukan oleh militer sebagai pelaku kekerasan. Berikut akan di jelskan mengapa bentuk-bentuk kekerasan itu dapat terjadi dan di lakukan pada perempuan  dan anak.

D.  Alasan dan Tujuan Kekerasan pada Perempuan di Wilayah Konflik.

Tindakan yang di lakukan oleh militer dan pemberontak yang menjadi musuh selalu mengorbankan perempuan. Banyak alasan yang bisa di kemukakan berkaitan dengan hal tersebut. Alasan mengapa perempuan menjadi korban kekerasan, karena perempuan dianggap sebagai mata-mata, perempuan di tuduh menyembunyikan musuh, perempuan sebagai anggota keluarga musuh, sehingga kerapkali perempuan di siksa, seperti tangan di iris, di strom, dipukul, diperkosa dan di bunuh.
    Berkaitan dengan hal itu, Khairani Arifin seorang aktivis perempuan  dari organisasi Flower Aceh menyatakan bahwa ada tiga alasan mengapa wanita Aceh diperkosa oleh anggota ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia).  Pertama, seorang perempuan dapat diperkosa karena dituduh, bahwa suaminya menjadi anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Kedua, perempuan dituduh sebagai anggota GAM. Ketiga, perempuan  sebagai tempat pelampiasan seks anggota ABRI. (Simopiaref, 1999). Hal demikian juga yang terjadi di Papua dan di tempat lainnya yang menjadi daerah rawan konflik. Banyak Perempuan Papua yang dibunuh setelah diperkosa. Angka pembunuhan dan penghilangan yang telah tercatat sejak tahun 1960-an hingga saat ini (1999) menunjukkan indikasi sekitar 400.000 orang.
    Tidak hanya itu, perlakuan kekerasan juga dalam bentuk lebih sadis lagi yakni bagian anggota tubuh di potong lalu di suruh makan, atau perempuan sebagai anak atau ibu di suruh potong telinga ibunya lalu makan ataupun sebaliknya. Kejadian yang lainnya adalah suami istri di suruh bersetubuh di depan umum kemudian di bunuh, yang lainnya adalah seorang ibu atau anak di perkosa di depan orang tuanya atau suaminya lalu di bunuh.
Perempuan di Papua seperti di dua daerah operasi militer lain, Aceh dan Timor Timur kemudian mengalami penyiksaan, perkosaan atau bahkan menjadi perempuan simpanan personel militer, seperti dikemukakan oleh Pelapor Khusus PBB untuk Kekerasan terhadap Perempuan ketika dia berkunjung ke Indonesia pada 1998.
    Banyak sekali tindakan yang di alami oleh kaum perempuan. Tidak hanya nyawa yang dirampas, perempuan juga sering kali kehilangan harta benda karena rumah, sawah dan ternak mereka di basmi begitu saja.
Semua perlakukan ini tidak terjadi begitu saja. Karena di balik dari peristiwa tersebut tersembunyi tujuan-tujuan tertentu. Beberapa tujuan yang bisa disebutkan di sini adalah untuk memancing keluar musuh dari persembunyian, agar musuh dapat  menyerah, untuk mengatakan kepada musuh bahwa mereka laki-laki perkasa yang kuat atau sebagai pemenang, untuk meninggalkan kenangan yang betul-betul membuat marah.
    Anne Feith – seorang peneliti dari Queensland University –  bahwa dalam situasi konflik atau perang, kekerasan terhadap perempuan menjadi sebuah cara yang umum dipakai untuk mempermalukan dan menteror penduduk sipil yang dianggap sebagai musuh. Perkosaan misalnya, menjadi alat untuk mengintimidasi dan juga meruntuhkan moral musuh. Hal terakhir terjadi ketika perempuan dilihat sebagai milik laki-laki dan merupakan simbol kehormatan laki-laki. 
    Alexandra Stiglmayer dalam Mass Rape: The War Against Women in Bosnia-Herzegovina (1997) menulis, pemerkosaan merupakan tindak agresif dan penuh penghinaan. Laki-laki bersenjata memperkosa karena ia ingin memperlihatkan kekuasaannya. “Di berbagai wilayah konflik bersenjata seperti Bosnia Herzegovina dan Kroasia, Rwanda, dan lain-lain, pemerkosaan digunakan sebagai alat "pembersihan etnis.” ujar Stiglmayer, mengutip para ahli dari komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang melakukan penyelidikan mengenai pemerkosaan di bekas negara Yugoslavia. Ia melanjutkan bahwa “Pemerkosaan di wilayah seperti itu tidak bisa dilihat sebagai insiden dari agresi militer, tetapi justru merupakan taktik atau strategi agresi.”
Berbagai organisasi HAM menengarai praktik-praktik pemerkosaan di dalam perang digunakan sebagai “senjata perang”.  Berkaitan dengan hal ini Stiglmayer  menguraikan bahwa pemerkosaan terhadap perempuan oleh tentara di dalam atau di luar rumah secara bersama-sama dengan perempuan lain, dan dilakukan berkali-kali, harus dilihat memiliki tujuan politik, untuk mengintimidasi, merendahkan, menghina korban dan semua pihak yang terimbas dampak praktik tersebut.
Artinya, tidak ada pemerkosaan yang dilakukan dalam situasi konflik yang tidak memiliki tujuan tertentu. Setiap perang memiliki motivasi sendiri-sendiri ketika menggunakan pemerkosaan sebagai salah satu strateginya. Motif kunci tentara Rusia yang memperkosa perempuan Jerman ketika Rusia menginvasi Jerman pada tahun 1945 adalah pembalasan dan dorongan untuk menghancurkan kebanggaan bangsa Jerman, yang merasa paling tinggi di antara segala ras di dunia. Motif pembalasan banyak dilakukan dalam perang oleh pemenang perang
   
E.  Perlindungan Hukum bagi Perempuan Korban Kekerasan di Wilayah Konflik
Perlindungan terhadap perempuan telah di buat baik oleh PBB maupun melalui kebijakan-kebijakan Negara yang di implementasikan lewat peraturan daerah maupun yang lainnya. Walaupun sudah ada produk hukum yang diatur untuk melindungi para perempuan dan anak yang menjadi korban tindakan kekerasan, namun sampai saat ini tidak satupun pelaku yang berhasil di hukum.
    Kasus Tanjung Periok misalnya, sampai saat ini, tidak ada penjelasan dan penangkapan bagi pelaku kekerasan seksual, kasus Aceh, Papua dan wilayah lainnya di Indonesia belum terselesaikan secara tuntas. Biasanya kasus-kasus seperti ini adalah permainan dimana Negara turut sebagai pelaku sehingga kedok Negara di sembunyikan sedemikian rupa agar masyarakat tetap percaya pada Negara, pada hal tujuan utama dari adanya Negara dan pemerintah adalah untuk melindungi masyarakat.
     Hal yang terjadi di Indonesia juga di alami oleh kawan-kawan perempuan di dunia internasional, mereka mengalami hal yang sama. Walaupun secara jelas-jelas Negara telah mebuat aturan agar pelaku kejahatan perkosaan khususnya yang buat oleh militer terhadap perempuan harus di hkum secara serius namun semuanya sia-sia. Apabila pelaku ditangkappun hukumannya hanya beberapa bulan bahkan hanya di tebus dengan uang.

F. Solusi bagi Para Korban di Wilayah Konflik.

Sudah sangat jelas, walaupun perempuan selalu menjadi korban namun perempun tidak berdaya untuk melawan karena hukum yang dibuat untuk melindungi perempuan dari perlakuan kejahatan namun seakan-akan hukum tersebut hanya merupakan pajangan belaka.
    Satu hal yang bisa membawa perempuan keluar dari persoalan tersebut adalah perempuan sendiri. Maka perempuan sebaiknya : bersatu dan melawan. Maksud dari kalimat itu adalah, jika kita mengalami hal yang sama dengan perempuan yang lainnya yang tentunya berasal dari daerah lain, entah dalam negeri maupun laur negeri maka kita harus bersatu dan mencari jalan keluar. Bersatu tidak harus jauh-jauh terbang ke tempat lain namun cukup di tempat kau berada. Bergabunglah kedalam organisasi – organisasi yang berbicara persoalan perempuan. 
    Dengan masuk kedalam jaringan organisasi maka belajarlah bagaimana taktik untuk melawan musuh. Jika engkau berusaha mengikuti petunjuk ini maka suatu hari engkau dapat mengerti bahwa hanya perempuanlah yang dapat mengerti perempuan dan perempuan sendiri yang akan mengeluarkan perempuan lainnya dari persoalan ini.

G.  Penutup

Kekerasan terhadap perempuan adalah sebuah persoalan yang perlu mendapat perhatian serius. Di wilayah konflik perempuan sangat rentan terhadap kekerasan. Kekerasan yang terjadi pada perempuan diwilayah konflik dapat terjadi karena beberapa factor seperti: Pertama, seorang perempuan dapat diperkosa karena dituduh, bahwa suaminya atau anggota keluarganya adalah salah satu musuh. Kedua, perempuan dituduh sebagai anggota musuh. Ketiga, perempuan  sebagai tempat pelampiasan seks anggota ABRI.
    Tindakan kekerasan seperti pemerkosaan yang di lakukan terhadap perempuan tidak hanya terjadi begitu saja namun semuana itu dapat terjadi karena mempunyai tujuan-tujuan tersediri, seperti pembasbian etnis (kasus Bosnia Herzegovina dan Rwanda),  taktik atau strategi agresi (kasus Irak untuk perampasan minyak), pembalasan kepada musuh karena kalah, (kasus Timor Timur),  untuk mempermalukan dan menteror penduduk sipil yang dianggap sebagai musuh, serta mereka ingin menunjukan keperkasaan agar melemahkan mental musuh. Dari kesemuanya ini perempuan yang menjadi korban
    Walaupun telah dibuat suatu peraturan namun untuk menghukum para pelaku, pada kenyataannya hukum tidak pernah berpihak pada perempuan. Karena semuanya sangat menyulitkan perempuan maka sebaiknya perempuan bersatu dan mulai memainkan strategi agar perempuan di waktu-waktu yang akan datang hidup dalam suatu suasana yang aman dan tentram. Semoga!!! 

Di dalam kelemahan kita, ada sebuah kekuatan, maka bangkit dan lawanlah
“HASTA LAH VICTORIA SIEMPRE”

Source : musafirkebebasan.blogspot.com
Bagikan Postingan Ini :

Posting Komentar

 
Copyright © 2014. MEE YAGAMO YEIMO - FREE WEST PAPUA