Headlines News :
Home » » Yosepha Alomang : Perempuan Papua yang Tak Pernah Lelah Melawan Kekerasan

Yosepha Alomang : Perempuan Papua yang Tak Pernah Lelah Melawan Kekerasan

Written By Unknown on Rabu, 25 Juni 2014 | 20.56

Mama Yosepha Alomang Perempuan Papua Barat
Mama Yosepha, itulah panggilan akrapnya terhadap perempuan Amungme yang bertubuh kecil dan berpenampilan sederhanaini. Tetapi dalam kesederhanaan itu, Ia memiliki keberanian untuk memperjuangkan tegaknya nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan kebenaran. Yosepha Alomang dilahirkan di Tsinga sekitar tahun 1940-an. Anak dari Nereus Magal ini telah menjadi seorang yatim piatu sejak bayi. Ia bahkan tidak bisa mengingat muka dan kehidupan ibunya, apalagi sang ayah yang meninggal lebih dahulu. Setelah ayahnya meninggal, ibunya menikah dengan Philupus Alomang, namun tidak lama kemudian ibunya pun menyusul ayahnya, dan sejak itu, Mama Yosepha (begitu sering panggilannya) dibesarkan oleh ayah kedua-nya.

Walaupu ia sering dipukuli dan dianiaya oleh saudara-saudara tuanya, tetapi ayah keduanya tetap sayang padanya. Menurutnya, adat suku amungme sangat tidak suka sama anak piatu. Karena itu, Ia merasa mengalami ‘penindasan’ sejak kecil dalam keluarga dan lingkunganya sendiri. Namun dari keluarga itulah ia menjadi kuat, dan mengambil hikmat, yang baik maupun buruk. Nasihat dari orang tua sangat dihargai Yosepha, bahkan menurutnya, untuk membayar nasihat orang tua, dimasa kecilnya ia terus bekerja dengan rajin.

Saat mulai besar, ia akhirnya mengerti dengan kondisi yang dialaminya juga oleh masyarakatnya, dan menyadari bahwa dirinya dibutuhkan di ladang kemanusiaan. Tanpa segan dia membantu siapa saja yang membutuhkan bantuannya. Ibu-ibu tua yang sakit, dibantunya dengan mengosok daun gatal, mebersihkan nanah yang melele dari luka mereka; membatu orang tua yang tidak bisa buang air besar; bahkan sampai ibu-ibu yang sulit sewaktu melahirkanpun dia berusaha untuk membatu. Di benaknya, selalu terselip pikiran bahwa apa pun yang dia lakukan adalah untuk memperbaiki jalan hidupnya sendiri.

Ia sempat masuk Taman Kanak-kanak (TK) di Belakmakama, dan kemudian melanjutkan pendidikannya ke sekolah dasar (SD) misi katolik di Agimuga. Tetapi akibat sering sakit, beberapa kali ia tahan kelas. Saat di kelas II SD, Bapak Philipus Alomang (ayah ke dua) meninggal, tetapi Mama Yosepha tetap bersekolah walapun banyak kesusahan dan masalah yang di hadapinya. Sampai kelas IV SD, Yosepha akhirnya memutuskan untuk keluar karena tidak ada yang menafkahinya. Hari demi hari dilaluinya hinga dewasa lalu akhirnya dirinya menikah dengan Markus Kwalik. Namun, kekerasan dan diskriminasi tidak pernah terlepas dari kehidupannya, bahkan selalu menyelimuti keluarganya.

Menurutnya peran perempuan dalam suku Amungme Sangatlah besar. Dalam hal perang, perempuan mengambil peran yang sangat penting sebagai inteligen untuk mencari tahu, keberadaan dan kekuatan musuh lalu melaporkan kepada laki-laki. Meski demikian, adat suku Amungme melarang membunuh perempuan dan anak kecil dalam perang. Di tahapan penyelesaian konflik pun, perempuan turut berperan penting, sebagai pemilik harta benda, karena perempuan dianggap berada. Bahkan tugas dan tanggungjawab perempuan dalam penyelesaian koflik dinilainya sangat besar dari pada laki-laki. Hal itu terjadi karena perempuan diciptakan lebih lengkap, baik tenaga, perasaannya, tanggungjawab kasih sayang kepada anak, suami dan juga lingkungan. Nilai-nilai filosofi adat inilah yang menjadi dasar dan pegangan hidup, dimana saja ia berbicara dan bertindak. Karena terlibat dalam menyelesaikan banyak pesoalan dan mampu berkomunikasi dengan masyarakat, ia pun terlibat dalam mendirikan LEMASA, dan Yosepha diangkat sebagai wakil perempuan di lembaga tersebut. Dimana sebagai lembaga adat Amungme, LEMASA bertujuan agar orang lain melihat Orang amungme sebagai manusia, yang berjuang dengan cara manusiawi dan bermartabat.

Pada Oktober 1984, Mama Yosefa dicurigai sebagai ibu dari Kelly Kwalik lalu diculik setelah didobrak pintu rumahnya oleh anggota satuan ABRI. Yosefa bersama beberapa seorang perempuan bernama Yuliana Magal dibawa ke Pos militer Koperapoka, diinterogasi kemudian disekap dalam sebua kontener, tempat pembuangan kotoran manusia, kemudian selama satu bulan di tahanan polisi. Peristiwa ini membuat Yosepha akhirnya terkenal sebagai tokoh pejuang HAM dan Lingkungan, baik di tingkat nasional mapun Internasional.

Kekerasan dan ketidakadilan, dari sejak kecil hingga besar tak pernah membuatnya lelah, takut, terdiam, dan tidak membuatnya dendam. Selalu berbuat baik dan berusaha menciptakan perdamaian. Baik terhadap kekerasan yang dialami semasa kecil; setelah bersuami; dalam masalah adat seperti perang suku; hinga kekerasan yang dilakukan Freeport dan ABRI, yang justeru membuatnya menjadi seorang perempuan yang berani melakukan perlawanan terhadap militern dan PT Freeport yang perampasan kekayaan dan merusak lingkungan. Jiwa dan semanggatnya disembahkan hanya untuk berjuang menentang kekerasan terhadap rakyat dan alam semesta diatas tanah ini. Walapun terbatasan dan lemah sebagai dan sebagai perempuan, baginya itu bukan faktor hambatan.

Mama Yosepha Alomang
Nasihat dari ayahnya dan filosopi nilai adat selalu menjadikan pagangan dan prinsip untuk tak pernah kompromi atas ketidakadilan dan ketidakbenaran dimanapun dia berada. “Jadi dimanapun saya bicara berdasarkan adat, saya tidak pernah takut dengan kau yang sekolah tinggi, pejabat, yang penting saya ngomong apa yang saya pikir dan apa yang saya rasakan, urusan kou orang sekolah mau bikin apa sesuai kepintaran itu urusan kalian.” Itulah prinsipnya yang berani dan bangkit melawan kekerasan Negara terhadap perempuan, anak dan lingkungan. Walaupun dengan bahasa yang masih kaku tetapi menurutnya ia percaya diri untuk berbicara apa yang dia pikirkan, dengan bahasa dan gayanya yang dia miliki.

Perjuangannya melampaui pandangan dari orang-orang di sekitarnya, buktinya ia diakui oleh dunia internasional, dengan mendapatkan penghargaan Yap Thiam Hien Award pada Desember 1999 dan dianugrahi Goldman Environmental Prize, 2001 atas jasanya, melawan kekerasan Negara dan kerusakan lingkungan di areal Freeport. Hadir sebagai mama, ketika ‘anak-anaknya’ ditangkap dan mengalami kekerasan oleh aparat keamanan, adalah salah satu ciri dari Pendiri dan direktris YAHAMAK ini. (Tiwaiwode*)
Bagikan Postingan Ini :

Posting Komentar

 
Copyright © 2014. MEE YAGAMO YEIMO - FREE WEST PAPUA