Headlines News :
Home » , » Birokrasi “Gila-gilaan” di Papua

Birokrasi “Gila-gilaan” di Papua

Written By Unknown on Kamis, 26 Juni 2014 | 00.00

Gambar Lawan : Ilustrasi
Birokrasi sejauh ini dikenal sebagai sistem yang direkayasa agar menjadi jembatan penghubung antara negara (pemerintah) dengan masyarakatnya. Dalam istilah Inggrisnya bureaucracy, diartikan sebagai sistem yang diciptakan Pemerintah guna menjalankan praktek-praktek penyelenggaraan Pemerintahan dalam arti luas, maupun untuk melaksanakan fungsi-fungsi Pemerintahan secara khusus seperti, pelayanan umum (public service), pengaturan (regulation) dan pembangunan (development) kepada masyarakat di tingkat pusat hingga daerah. Tetapi, sistem birokrasi itu bisa berjalan sebagaimana mestinya jika tercipta kondisi birokrasi yang rasional seperti kata Max Weber.

Pada masa otonomi daerah, birokrasi sipil di tingkat daerah (Provinsi dan Kabupaten/kota) telah menjadi perpanjangan tangan (representasi) Pemerintah Pusat (central government). Hubungan ini praktis tercermin ketika fungsi-fungsi pemerintahan seperti, pelayanan, pembangunan dan pengaturan, telah menjadi tugas utama Pemerintah Daerah yang notabene agent Pusat di daerah. Untuk merancang dan melaksanakan tugas-tugas itu, aparat Pemda (baik eksekutif dan legislatif) sangat diharapkan memperhatikan konteks lokal, kontradiksi kultural dan aspek sosial lainnya yang mungkin terjadi di masyarakat.

Namun kondisi birokrasi di Tanah Papua pada tataran implementasi, boleh dibilang hampir kurang memperhatikan hal tersebut. Dalam perspektif sosial budaya, praktek pembangunan yang dilaksanakan di Tanah Papua cenderung menghasilkan apa yang dinamakan deprivasi kultural dan keterasingan (marginalisasi) masyarakat pribumi Papua (West Papua Indigenous People) ketimbang terwujudnya emansipasi sosial. Kondisi demikian lantas memproduksi elit-elit birokrat di Papua yang kian terobsesi melakukan sesuatu hanya demi menyenangkan Pemerintah Pusat yang adalah majikannya. Karena itu tidak mengherankan kalau petinggi birokrasi di Tanah Papua sepertinya tak mampu mengakomodir tuntutan dan aspirasi masyarakat yang dianggap berseberangan dengan kepentingan majikaannya di pusat.

Dalam kaitan dengan pengelolaan SDA, birokrasi sipil di Tanah Papua terkesan berkarakter “oppotunist,” alias lebih sebagai pelayan kapitalis dan pengabdi kepentingan diri sendiri. Sejumlah potensi SDA yang begitu bernilai seperti, hutan, mineral tambang, migas, tanah-tanah ulayat, dan sebagainya telah diambil alih Pemerintah atas nama pembangunan untuk diobral kepada para kapitalis. Yang cukup memprihatinkan, elit-elit lokal bersama birokratnya justru bertindak sebagai tim sukses (agent) yang mendukung praktek itu. Tercatat, selama kurun waktu 1970-an hingga kini, telah terjadi pengkaplingan SDA Papua yang dilakukan oleh pengusaha besar yang menyertakan kroni-kroni pejabat pusat dan lokal.
Pengkaplingan itu telah melahirkan sejumlah konglomerat kakap dan pejabat pemerintah, baik di pusat dan daerah yang kaya dari hasil eksploitasi SDA di Papua. Ironisnya, masyarakat pribumi pemilik SDA tidak mendapat manfaat signifikan dari adanya ekploitasi itu. Justru SDA yang dianggap bernilai itu menjadi semacam kutukan (resource curse) bagi pribumi Papua sendiri. Meskipun begitu, kondisi ini tetap saja melahirkan sejumlah elit birokrat, elit legislatif dan elit lokal yang lupa diri. Mereka menjadi lupa pada masyarakat asli termarginal yang hak-haknya terus terabaikan dan telah lama menjadi korban pembangunan. Pada saat yang bersamaan, ketika masyarakat asli Papua melakukan resistensi terhadap praktek itu, Pemerintah cenderung merespon dengan reaksi frontal melalui kaki tangan militer.

Respon frontal itu biasanya di dahului stigmatisasi separatis OPM dan makar untuk merepresi setiap protes dan perlawanan masyarakat. Hal ini terlihat dari pengalaman masyarakat tujuh suku di areal pertambangan emas, tembaga, perak yang dikelola PT. Freeprot di Timika saat ini. Kasus Wasior Berdarah 2001 yang menewaskan 302 orang warga sipil akibat operasi TNI/Polri juga menjadi bukti lain. Kasus Wasior bermula ketika masyarakat lokal memprotes perusahaan pemilik HPH yang telah lama merambah hutan mereka namun tak memberi manfaat signifikan bagi masyarakat. Terlepas dari dua kasus itu dan kasus lain yang terjadi di Tanah Papua, tampak bahwa elit birokrasi sipil di wilayah ini pun masih hidup di bawah bayang-bayang kekuasaan militer orde baru yang otoriter.

Kecenderungan itu terus terbawa dalam bentuk pemaksaan atau formulasi militerisme ke dalam sistem administrasi pemerintahan. Sebut saja, dalam hal mengeksekusi arah kebijakan pembangunan yang bias pendatang (migrant biased policy). Para elit putra Papua yang kini menduduki jabatan-jabatan strategis, tampaknya masih meneruskan apa yang dimulai oleh elit non Papua dan elit militer di massa orde baru. Masalah lain adalah karakter orde baru yang sarat dengan KKN pun masih terbawa dan berurat akar dalam birokrasi Pemerintah di era reformasi. Ini dimulai dari pusat hingga daerah. Dalam prakteknya di era Otonomi Khusus Papua, para pejabat menggunakan kekuasaannya untuk korupsi dan memberikan fasilitas, jabatan dan kemudahan-kemudahan tertentu hanya kepada kerabat yang berasal dari etnis dan golongan yang sama.

Yang menarik untuk dicermati, salah satu aspek penunjang dalam tuntutan “Papua Merdeka” di era kebangkitan Papua sebelum tahun 2000 juga disebabkam oleh adanya dominasi pendatang atas pribumi Papua dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk birokrasi. Kesempatan itu lalu dimanfaatkan elit-elit Papua untuk menghembuskan isu “Papuanisasi” dengan tujuan praktis adalah mengambil alih posisi-posisi pimpinan pada level provinsi dan kabupaten/kota. Wacana “Papuanisasi Birokrasi” lantas ditiupkan dan kian berkembang pada masa itu. Selalu dikemukakan bahwa dengan semakin banyaknya putra Papua menduduki kursi pimpinan dalam Pemerintahan Daerah seakan-akan bisa menjamin keberpihakan, komitmen dan ada strategi baru dalam pembangunan dengan mengutamakan pribumi Papua secara keseluruhan. Benarkah demikian?

Pada saat Otonomi Khusus Papua lahir berdasarkan UU No. 21 Tahun 2001, praktis terjadi Papuanisasi jabatan-jabatan penting (jabatan strategis) mulai dari tingkat Provinsi hingga Distrik dan Kampung. Papuanisasi jabatan ini mencakup jabatan politik seperti, gubernur/wakil gubernur, bupati/walikota hingga jabatan struktural dan fungsional di jajaran birokrasi. Dalam kondisi transisi semacam itu, rasionalitas penjenjangan karir berdasarkan golongan kepangkatan pendidikan dan kapabilitas seseorang tak lagi di pertimbangkan. Hal ini sering terjadi di saat penggantian kepala daerah dan pimpinan di level provinsi dan kabupaten. Karakter orde baru yang pernah di caci maki, nyata-nyata teradopsi dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah di Tanah Papua.

Ini dikarenakan dominasi isu primodialisme yang tak hanya bersifat ke Papuaan, tapi telah menyempit kearah etnisitas (tribalitas) di kalangan suku-suku asli Papua. Perilaku seperti ini terkadang memunculkan pertentangan politik dan persaingan yang tidak sehat dalam memperebutkan jabatan-jabatan penting. Boleh dibilang, kondisi birokrasi di Tanah Papua Papua secara umum (termasuk Papua Barat/IJB) pasca pemberlakuan Otonomi Khusus kian memunculkan sejumlah polemik baru. Polemik itu muncul sebagai akumulasi dari adanya “patologi birokrasi,” atau penyakit birokrasi yang telah lama merebak luas dan seolah-olah menjadi tradisi. Penyakit birokrasi itu cenderung berdampak pada penyalahgunaan kekuaasaan, korupsi yang menggila hingga kehidupan berfoya-foya di kalangan pejabat.
Banyak anggaran publik yang bersumber dari Dana Otsus, APBD, DAU, DAK dan lain - lain yang tidak dikelola dengan baik. Sejumlah realita lain membuktikan bahwa beberapa Pemda di Tanah Papua yang para pejabat dan wakil rakyatnya ramai-ramai “menghabiskan” milyaran anggaran Pemda untuk kepentingan birokrasi seperti; pembangunan dan renovasi kantor, pengembangan instansi, pengadaan kendaraan dinas, perjalanan dinas, tunjangan pegawai, honorarium dan lain-lain. Dengan alokasi anggaran yang begitu besar untuk kepentingan aparatur pemerintahan, praktis mengurangi anggaran untuk kepentingan publik (public sector) seperti : pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat, pembangunan infrastruktur dan kepentingan publik lainnya.

Dampaknya adalah dambaan pribumi Papua untuk mencapai tingkat kesejahteraan secara materil dan spritual masih jauh dari harapan. Hal itu tercermin dari hasil Musyawarah Besar (Mubes) MRP dan masyarakat adat Papua (9-10 juni 2010) yang menyimpulkan Otsus selama delapan tahun lebih gagal mengubah kehidupan orang Papua. Problem inefisiensi dan inefektiitas penyelenggaraan birokrasi di Papua juga tampak pada kurangnya disiplin pegawai, terbatasnya SDM aparatur Pemda yang handal, tidak meratanya jumlah pegawai dengan jenis maupun jumlah pekerjaan, penggunaan anggaran yang tidak tepat sasaran, penempatan pegawai dan pejabat yang tidak sesuai, pengawasan yang kurang baik, serta terbatasnya infrastruktur penunjang penyelenggaraan pemerintahan.

Kendala-kendala penyelenggaraan birokrasi di era Otonomi Khusus Papua telah melahirkan kesan bahwa seakan-akan Papuanisasi Birokrasilah yang menjadi faktor “penyebab” lumpuhnya birokrasi di Papua dan lambannya peningkatan kesejahteraan orang asli Papua. Namun, hal ini terjadi karena fungsi-fungsi kepemimpinan, manajemen konflik, regulasi, pelayanan publik, pembangunan dan good governance belum terlaksana secara baik. Penyakit birokrasi ini secara langsung telah menyebabkan Pemerintah seakan tak berdaya mengatasi krisis kepercayaan yang terus mengarah pada krisis kebangsaan (integrasi nasional). Birokrasi yang teradopsi dari kata bureaucracy, dalam prakteknya nyaris menjadi bureau-crazy, alias biro gila atau birokrasi gila-gilaan.

Alhasil, rakyat Papua kini semakin antipati, tidak percaya dan mungkin akan terus menolak apapun kebijakan yang hendak diajukan Pemerintah seperti Inpres Percepatan Pemangunan Papua Barat No. 5 Tahun 2007 (P4B dan UP4B), termasuk upaya mempertahankan status Otsus yang telah di tolak lewat Mubes MRP plus demonstrasi 18 Juni dan 8 Juli di DPRP. Meski begitu, Pemerintah akan tetap saja memaksa dan menganggap Otsus adalah final solution bagi problem Papua. Disini sudah bisa dipastikan, sikap antipati rakyat Papua kian menyuburkan spirit “etnonasionalisme Papua” dan keinginan memisahkan diri. Sebaliknya, birokrasi sipil di Papua belum dapat sepenuhnya menjadi aktor potensial dalam mereduksi dan meresolusi berbagai kemelut hubungan RI-Papua.

Hal itu akan menjadi soal besar yang dihadapi bangsa Indonesia jika integrasi nasional ingin tetap dipertahankan. Sangat ironis memang, karena sistem birokrasi dalam Otonomi Khusus Papua sepertinya tak mampu menjadi lokomotif terwujudnya kebijakan proteksi, affirmasi dan pemberdayaan penduduk asli Papua. Penyelenggaraan birokrasi di Tanah Papua sampai hari ini masih menjadi problem klasik untuk bisa mewujudkan keharmonisan hubungan politik antara orang Papua, Pemerintah dan masyarakat Indonesia lainnya. Sebab birokrasi sipil di Tanah Papua memang menjadi bagian dari resim penindas yang menjalankan praktek-pratek penjajahan (kolonialisme) Indonesia atas rakyat dan bangsa Papua di tanah leluhurnya. Mari kita bersatu dan lawan penindasan...!!! (Tiwaiwode)***
Bagikan Postingan Ini :

+ komentar + 1 komentar

11 September 2017 pukul 16.14

Tulisan ini sama persis dengan tulisan Julian Howay tgl 18 April 2011 pukul 19.16 ini link nya Julian Howay, Patologi Birokrasi sipil di Tanah Papua, http://www.kompasiana.com/www.tabloijubi.com/patologi-birokrasi-sipil-di-tanah-papua_5500b54da333119a72511af8,

Posting Komentar

 
Copyright © 2014. MEE YAGAMO YEIMO - FREE WEST PAPUA